Sabtu, 26 November 2011

1 Muharram datang

“Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Jaatsiyah 45:18)

Banyak sekali pertanyaan yang mencuat tentang 1 Muharram, diantaranya ialah sebagai berikut, “Dalam konteks hikmah kesejarahan, apa sebenarnya bedanya 1 Muharram dengan 10 Muharram? Hari yang bersejarah menurut sejarah dari umat Islam, 1 Muharram atau 10 Muharram kah atau mungkin keduanya-duanya? Kalau dikatakan keduanya-duanya, hikmah apakah yang terdapat di alik kedua hari tersebut?”

“Ada atau tidakkah perintah dari Allah dan tuntunan dari Nabi Muhammad SAW tentang merayakan 1 Muharram pada setiap tahun dengan ibadah ritual? Jikalau tidak, mengapa setiap tahun pada tanggal 1 Muharram banyak umat Islam merayakannya dengan menggelar berbagai ritual di masjid-masjid?”

“Apakah sesuai dengan syariat atau tidakkah untuk mengandekakan qiyamul lail secara berjamaah di masjid-masjid pada setiap malam pada tanggal 1 Muharram seperti yang sering dilakukan oeh beberapa komunitas muslim? Mengapa banyak sekali umat Islam mengimbau serta mengatakan bahwa 1 Muharram perlu diperingati dan dirayakan menyongsong kebangkitan umat pada abad 15 Hijriah? Ada atau tidakkah nash syariat yang mendukung pernyataan tersebut?”

“Lalu, apa yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat sepeninggal beliau pada saat menjelang tanggal 1 Muharram? Jikalau mereka tidak melakukan ritual khusus pada atau menjelang tanggal 1 Muharram tersebut, sesuai syariat atau tidak, kalau kita umat Islam yang hidup saat ini menetapkan sebuah konsensus, bahwa pada tanggal 1 Muharram harus diresmikan sebagai Hari Besar dan di kalender harus diberi angka merah serta dirayakan dengan ritual khusus demi syiar Islam? Kalau dikatakan tidak boleh, adakah nash syariat yang jelas dan pasti untuk mengharamkan atau melarangnya? Lalu yang terakhir, bolehkah puasa sunnah pada tanggal 1 Muharram tersebut?”


Untuk menjawab semua pertanyaan penting di atas, diperlukan seorang ulama yang benar-benar memahami dan mendalami syariat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut beberapa ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak ada perintah dari Allah dan tuntunan Rasul-Nya untuk merayakan 1 Muharram pada setiap tahun dengan ibadah/ritual khusus. Dengan demikian seorang tidakperlu merasa berdosa bila tidak merayakannya.

The Answer

Jawaban dari semua pertanyaan di atas tentang setiap tanggal 1 Muharram banyak umat Islam merayakannya dengan berbagai ritual di masjid-masjid, wallahul a’lam, niat dan motivasinya mungkin berbeda-beda. Misalnya ada yang melakukannya dikarenakan dorongan semangat yang menggebu-gebu untuk meningkatkan syair Islam.

Lalu pertanyaan di paragraph kedua tentang sesuai syariat atau tidaknya, mengagendakan qiyamul lail secara berjamaah di masjid-masjid pada setiap malam pada tanggal 1 Muharram, karena ada perintah atau tuntunannya tidak ada, tentu tidak sesuai dengan syariat. Hal ini perlu dikemukakan agar jangan sampai ada orang yang merasa berdosa kalau tidak melakukannya.

Jawaban dari dari pertanyaan di paragraph ketiga tentang mengapa umat Islam mengimbau serta menyatakan bahwa 1 Muharram perlu diperingati dan dirayakan menyongsong kebangkitan umat Islam pada abad 15 Hijriah, penyebabnya bisa saja bermacam-macam, seperti merayakannya dengan ritual di masjid-masjid. Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada nash syariat yang mendukung pernyataan tersebut.

Dan yang terakhir, tentang jawaban pada paragraph keempat, tentang ada atau tidaknya ritual khusus yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabat sepeninggal beliau pada atau menjelang 1 Muharram, tidak seorang ulama ahli hadis pun memfatwakan bahwa ada ibadah khusus yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat sepeninggal beliau pada atau menjelang 1 Muharram.

Sya’i atau Tidak?

Tentang syar’I atau tidakkah kalau umat Islam yang hidup pada saat ini menetapkan sebuah konsensus bahwa, tanggal 1 Muharram harus diresmikan sebagai Hari Besar dan di kalender harus diberi angka merah serta dirayakan dengan ritual khusus demi syiar Islam, tentu saja tidak syar’i. Imam Syafi’I dalam hal ini di dalam kitabnya Ar-Risaalah dalam konteks ini antara lain memberi peringatan tegas melalui kata-kata beliau, “Siapa ber-istihsan (menganggap baik suatu amal yang direkayasa), berarti ia telah membuat (dan siapa membuat syariat), maka dia sudah kafir,” (Hasyiyyatu Jam’iljawaami’).

Tentang boleh tidaknya berpuasa pada tanggal 1 Muharram itu, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak pernah mengerjakannya, kecuali pada tanggal 1 Muharram tersebut jatuh pada hari Senin dan Kamis. Dan mereka biasa berpuasa sunnah Senin dan Kamis dan puasa pada tanggal 1 Muharram tidak ada tuntunanya dari Nabi SAW.

Tentang puasa Senin dan Kamis sendiri memang ada tuntunannya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Pintu-pintu surge dibukakan pada tiap-tiap hari Senin dan Kamis, lalu pada kedua hari itu, tiap-tiap hamba (Allah) yang tidak mempersekutukan Allah diampuni dosanya, kecuali dua hamba (Allah) yang masih bersengketa (saling mendendam), sehingga mereka berbaikan kembali,” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Selain itu, dikatakan pula oleh Nabi SAW bahwa, “Sesungguhnya ibada hamba dinaikkan (diperlihatkan kepada Allah) pada tiap-tiap hari Senin dan Kamis,” Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Rasulullah SAW mengatakan bahwa ia suka ibadahnya diperlihatkan kepada Allah dalam keadaan ia sedang mendalankan shaum Senin dan Kamis,” Bahkan Aisyah RA, istri beliau mengatakan, “Rasulullah SAW senantiasa menunggu hari Senin dan Kamis (untuk menunaikan shaum),

Puasa yang disyariatkan khusus pada bulan Muharram hanya pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Nashnya ialah dapat ditemukan di dalam Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim, bahwasanya sahabat Abdullah Ibnu Abbas RA berkata, “Bahwasanya ketika memasuki kota Madinah, Rasulullah SAW mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW berkata kepada mereka, ‘Ada apa dengan hari ini sehingga kalian berpuasa padanya?’ mereka mengatakan, ‘ Ini adalah hari yang agung, dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari itu serta Allah tenggelamkan Fir’aun dan pasukannya. Maka Musa berpuasa sebagai bentuk rasa syukur dan kami pun ikut berpuasa pada hari tersebut.’ Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Kalau demikian kami lebih pantas terhadap Musa daripada kalian.’ Maka Rasulullah SAW pun berpuasa pada hari tersebut serta memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan pula puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Imam Muslim dalam Sahihnya meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas RA, bahwasanya ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya berpuasa pada hari tersebut, mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah! hari ini (‘Asyura) adalah hari yang diangungkan orang-orang Yahudi dan Nashara.’ Maka Nabi SAW berkata, ‘Jika aku menjumpai tahun yang akan datang, insya Allah aku akan berpuasa pula pada hari yang kesembilannya.’ Abdullah Ibnu Abbas RA berkata, ‘Namun, sebelum datang tahun berikutnya, Rasulullah wafat.’” (HR. Muslim). Puasa hari kesembilan itu disebut juga Puasa Tasu’a, sedang puasa hari kesepuluh disebut Puasa ‘Asyura.

Mengenai dipuasakannya oleh Rasulullah SAW tanggal 10 Muharram (‘Asyura) dan menyuruh sahabat ikut berpuasa, hal itu terjadi pada awal masa hijrah di Madinah dan hubungan dengan hubungan dengan Yahudi adalah baik. Sedang keinginan Nabi SAW untuk menambahkan dengan Puasa Tasu’a (9 Muharram) karena Yahudi sudah memusuhi kaum muslimin dan kaum Yahudi akhirnya diusir dari Madinah.

Syariah Islam sudah lengkap, tidak ada kebaikan yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah yang tidak diturunkan dan diberitahukan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya tak ada dosa yang menjauhkan manusia dari Allah yang tidak diturunkan Allah dan tidak dijelaskan Rasul-Nya. Hanya saja umat Islam (sebagian) terkadang aneh, yakni apa yang jelas diperintahkan Allah dan dituntunkan Nabi SAW tidak diperdulikan, sedangkan yang tidak dituntunkan justru mereka budayakan.

Allah SWT di dalam Al-Qur’an memerintahkan kita sebagai orang yang beriman untuk selalu melakukan tafaqquh fiddiin (mengkaji Islam) berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dengan begitu kita dapat membedakan ibadah berdasarkan sunnah (syariat) dan mana yang bukan. Melaksanakan qiyamul lail pada setiap malam pada tanggal 1 Muharram bukan ibadah yang disyariatkan, namun secara umum menunaikan qiyamul lail setiap malam dianjurkan dan manfaatnya sangat besar sekali.

Keuntungan atau kelebihan orang yang hidup pada zaman Rasulullah SAW dan sempat berjumpa dengan beliau, ia dapat mengetahui dengan benar, karena dapat bertanya langsung kepada beliau segala persoalan yang terjadi pada saat itu. Tetapi,, umat Islam pada zaman sekarang pun juga diberi banyak kemudahan dalam mencari pengetahuan tentang syariat yang benar. Selain dapat bertanya kepada ahlinya, umat Islam pun dimudahkan dengankemajuan teknologi, seperti internet, televisi, dan media koran. TAMAT

SEMOGA APA YANG SAYA TULIS INI BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA. AMIEN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar