Humor


Bapaknya "banyak"




Sehabis sholat Maghrib, Gus Coy sudah berpakaian rapih. Ia bersemangat sekali karena sehabis Maghrib adalah jadwal mengaji ilmu Nahwu ke rumah Ustadz Rifa’i. Adalah suatu kebanggaan jika bisa mengaji Nahwu hingga selesai dengan Ustadz Rifa’i, sebab ia terkenal cerdas dan ahli dalam ilmu tata bahasa Arab tersebut. Wajar saja, Gus Coy tampak sangat antusias.

Materi hari itu yang diajarkan mala mini adalah mengenai masalah tanwin, harakat ganda yang merupakan tanda bunyi berujung ‘n’ dalam bahasa Arab. Seperti biasanya, sehabis berzikir, Ustadz Rifa’i langsung duduk di tempatnya untuk mengajar, sementara itu para santri semuanya sudah berkumpul. Maka pelajaran hari itu pun dimulai.

Seperti biasa, pelajaran dimulai dengan mengucapkan basmalah dan membaca surah Al-Fatihah. Suara dari Ustadz Rifa’i sangat berwibawa sehingga para santri mendengarkannya dengan seksama. “Jika pada pertemuan sebelumnya, kita sudah membahas tentang tanwin mutamakkin, maka pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai tanwin tankir. Tanwin tankir adalah tanwin yang terdapat pada beberapa isim mabni seperti isim fi’il, isim alam, dan isim yang diakhiri oleh kata waihin yang berguna sebagai pembeda antara nakirah (kata umum yang mengarah kepada beberapa obyek) dan ma’rifah (kata khusus atau sangat jelas mengarah kepada obyek tertentu). Jika isim tersebut bertanwin, maka nakirah, jika tidak, maka ma’rifah,” kata Ustadz Rifa’i.

Contoh demi contoh terus disampaikan Ustadz Rifa’i untuk memperjelas paparannya. Sementara wajah Gus Coy menegang. Ia seperti melayang dan memikirkan hal lain di luar dari masalah tanwin yang sedang Ustadz Rifa’i jelaskan. Muka aneh dari Gus Coy terus bertahan hingga pengajian pada hari itu berakhir.

Jika para santri lain langsung kembali ke asrama, Gus Coy justru setelah pengajian langsung pergi ke wartel terdekat. Ia memutar tombol telepon rumahnya dengan tegang. “Halo, assalamualaikum! Ini siapa?” unjar sebuah suara seseorang di ujung telepon. “Waalaikumsalam, ibu, ini saya Gus Coy, bapak ada?” Tanya Gus Coy terburu-buru. “Ada. Sebentar ya, ibu panggilkan,” unjar ibu. Di telepon Gus Coy terdengar suara ibunya yang memanggil suaminya. “Assalamualaikum, nak! Ada apa? Kamu minta kiriman uang? Uangmu sudah habis ya?” Tanya ayah Gus Coy. “Tidak pak. Uang saya masih ada dan cukup untuk beberapa hari ke depan. Ini saya mau Tanya, sebenarnya nama bapak siapa sih?” Tanya Gus Coy. “Nama bapak Sibawaihin. Memangnya kenapa kamu menanyakannya?” “Sibawaihin saja, tidak ada tambahan lagi?” Tanya Gus Coy. “Iya, Sibawaihin saja, tidak ada tambahan atau kurangnya lagi,” tegas ayahnya. “Benar, pak. Bukan Sibawaihi?” Tanya Gus Coy lagi yang mulai membuat heran bapaknya. “Benar anakku, memangnya ada apa?” “Kalau begitu, saya anak siapa dong, pak? Saya anak Sibawaihi yang mana? Kata guru saya jika Sibawaihi dibaca tanwin, maka artinya adalah umum dan merujuk pada obyek yang banyak. Artinya beberapa orang yang bernama Sibawaihi. Nah, kalau nama bapak Sibawaihin, berarti bapak saya banyak, bapak saya tidak jelas,” unjar Gus Coy sambil menahan isak. Mendengar ucapan dari anaknya itu, tawa bapaknya Gus Coy meledak bak bom atom. Ternyata itulah yang menjadi kegalauan putra kesayangannya itu hingga tiba-tiba menelepon malamm hari. “Kok bapak tertawa sih, ini pertanyaan serius,” unjar Gus Coy. “Hehehe… baiklah. Begini anakku, walau nama bapak adalah Sibawaihin, nama bapak tetap kata yang khusus, malah lebih khusus lagi. Dahulu, di kampung kita ini ada 4 orang yang bernama Sibawaihi. Nah, untuk membedakan dari mereka, maka bapak oleh kakekmu diberi nama ‘Sibawaihin’ untuk membedakan dengan mereka semua,” kata bapak Gus Coy sambil menahan tawa. “Oo, begitu toh. Jadi nama bapak lebih ma’rifah dari ma’rifah dong,” unjar Gus Coy sambil menahan malu. (sumber : Humor Nahwu ala pesantren karya Khoiron Durori)