Selasa, 09 Agustus 2011

Lautan Menguap

“Dan apabila lautan menjadikan meluap”. (Q.S. Al-Infithaar 82:3)





Lautan meluap adalah kejadian pada hari kimat nanti. Bagaimana bisa terjadi? Kita tidak perlu banyak bertanya tentang hal itu. Itulah kejadian yang mesti terjadi atas kekuasaan Allah SWT. Apalagi sepanjang pengetahuan empiris sehari-hari, batas jangkauan air laut pada saat pasang sudah diketahui sampai batas tertentu. Begitu juga batas air pada surut. Karena itulah rumah-rumah para nelayan di pingiran pantai dibangun pada tempat yang terdekat dengan garis pasang. Ternyata, rumah-rumah itu tidak terkena terjangan ombak.

Volume air laut secara keseluruhan tampaknya tidak pernah berkurang dan tidak pernah bertambah, kecuali pada batas-batas garis pasang dan garis surut. Karena itu, ketika Al-Qur’an menginformasikan bahwa air laut dijadikan meluap, tidak dapat kita pahami, bagaimana meluapnya? Kita yakin, karena firman Allah pasti benar.

Tsunami Memberika Kejelasan

Gempa bumi yang berpusat di lautan menyebabkan tsunami. Yaitu gelombang pasang di laut yang meluapkan air kedaratan melebihi batas air pasang seperti biasanya. Gelombang ini selalu menerjang apa saja di daratan yang dilaluinnya. Rumah roboh dan hanyut, kapal-kapal besar terdampar di tengah kota, mobil-mobil terdampar di atap rumah bertingkat. Jasad manusia, binatang besar maupun yang kecil, serpihan-serpihan kayu hanyut terbawa gelombang pasang. Kemudian ada yang hanyut kembali menuju laut bersama gelombang yang surut. Kejadian seperti ini dapat dilihat pada gambar maupun rekaman tsunami di Aceh (Ahad, 26 Desember 2004), mau pun tsunami di Jepang yang didahului oleh gempa bumi (Jum’at, 11 Maret 2011). Kejadian ini dapat dijelaskan tentang lautan yang meluap menjelang kiamat nanti.

Bagaimana terjadinya gelombang? Semula terjadi keruntuhan, ambrol mau pun pecah pada lapisan tanah di dasar laut. Karena itu, rongga di dalam tanah terisi air laut. Akibatnya permukaan air laut menyurut dan banyak ikan yang terdampar. Tetapi setelah rongga-rongga itu terisi, terjadilah gerak balik gelombang ditambah gerak air dari sekitar berusaha mengisi tempat yang airnya surut itu, dengan kekuatan yang besar. Karena itu, gerak balik membawa air laut sampai meluap jauh melebihi garis pasang. Benda-benda yang diterjangnya tersapu olehnya. Demikian analisis gempa dan tsunami di Aceh pada Ahad, 26 Desember 2004 silam.

Ada pun gempa dan tsunami di Sendai, Jepang, menurut M. Ma’rudin Sudibyo yang pengamat astronomi, berdasarkan analisis seismogram dari 60 stasiun gempa global, merupaka hasil pematahan segmen kerak bumi bagian pinggiran lempengan Eurasia seluas 52.900 km2 yang bergerak melenting ke timur sejauh rata-rata 17,8 meter. Akibatnya, terjadi pengangkatan dasar laut setinggi 4,3 meter dari semula. Akibatnya, lebih dari 100.000 km2 air di atasnya bergolak dengan hebat, yang menyebabkan gelombang pasang berkecepatan 750 km/jam di lautan bebas. Setelah mencapai pantai kecepatannya banyak berkurang sampai di bawah 40 km/jam (Suara Merdeka, Senin, 28 Maret 2011, hal. 19).

Bencana Tsunami

Gempa bumi di Jepang (Jum’at, 11 Maret 2011, jam 12:46 WIB atau 14:46 waktu setempat) berpusat di sebelah timur kota Sendai sejauh 130 km atau 300 km timur laut Tokyo, di kedalaman 24 km dari permukaan laut, dengan kekuatan 9 SR. kota Sendai luluh rantak. Beberapa pesawat terbang di bandara Sendai terbawa hanyut gelombang tsunami setinggi 10 meter tersebut. Mobil-mobil berserakan, kapal tanker terseret tsunami sampai ke tengah kota. Ribuan jiwa manusia melayang.

Bencana berikutnya ialah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima, yaitu Fukushima 1, meledak pada 12 Maret 2011 dan Fukushima 3 juga meledak pada 14 Maret 2011. Ledakan yang kedua ini telah menewaskan sebanyak 10.000 orang. Lebih dari 180.000 orang diungsikan dari kawasa itu danada sekitar 160 orang ditemukan terkena radiasi sinar radioaktif yang sangat berbahaya. Kejadian ini juga sedikit menambah kejelasan tentang kehebatan hari kiamat nanti.

Tentang seberapa bahayanya sinar radioaktif dari PLTN ini, E.F Schumacher (Kecil Itu Indah, 1970, hal. 127) telah memberika peringatan, bahwa perubahan alam yang ditimbulkan oleh manusia yang paling besar danbahaya adalah pemisahan nuklir (nuclear fission) secara besar-besaran yang radiasinya menyebabkan pencemaran lingkungan hidup yang merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia. Sekali saja terjadi, maka kekuatan radiasi itu tidak akan berkurang oleh reaksi kimiawi atau campur tangan fisik. Hanya waktu yang dapat menguranginya. Bahkan ada radiasi yang berlangsung hampir tanpa batas waktu. Untung saja sekarang radiasinya mulai berkurang, bahkan hamper tidak ada. Maka bahan radioaktif  itu harus disimpan ditempat yang aman, agar tidak membahayakan kehidupan. Bukan saja bagi yang langsung terkena radiasi, tetapi juga keturunannya. Di mana bahan yang berbahaya itu harus disimpan? Ternyata di dunia ini tidak ada tempat yang aman untuk menyimpannya. Demikian E.F Schumacher (hal. 128).

Akibat radiasi tersebut, orang dapat meninggal karena kanker dengan penderitaan yang panjang. Orang atau keturunannya dapat bertahan hidup namun idiot. Demikian yang terjadi akibat radiasi karena ledakan nuklir di Chernobyl, Ukraina 24 tahun yang lalu. Karena demikian besarnya bahaya radiasi ledakan nuklir, seorang fisikawan dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Prof. Dr. Like Wilarjo, ,M.Sc., berpesan : Lupakan (saja) membangun PLTN di Indonesia. Lupakan! (Suara Merdeka, Ahad, 27 Maret 2011).

Zaman Nabi Nuh AS

Al-Qur’an surah Huud ayat 37 menyatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Nuh AS supaya membuat sebuah perahu besar yang ditumpangi bersama-sama pengikutnya yang beriman, jika nanti terjadi banjir besar. Orang-orang kafir menertawakannya, karena secara empiris tampak tidak mungkin tempat tinggal mereka terjangkau oleh banjir. Tempat tinggal Nabi Nuh AS terletak di Kufah, sejauh 500 km dari pantai laut teluk Persia.

Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah SWT menurunkan air hujan tercurah dari langit dan bumi memancarkan banyak mata air. Lalu yang terjadi seperti firman-Nya: “Maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan”. (Q.S. Al-Qamar 54:12). Pertemuan air dari langit dan air dari bumi itu menyebabkan banjir besar. Sungai Furat sudah tidak dapat menampung volume air yang semakin banyak dan akhirnya airnya meluap. Perahu Nabi Nuh AS yang ditumpangi para pengikutnya yaitu orang-orang yang beriman terhayut oleh gelombang pasang setinggi gunung. Setelah air surut, perahu itu terdampar di gunung Judi (Q.S. Huud 11:42-44), yaitu puncak tertinggi pegunungan Ararat di Armenia. Menurut peta yang dibuat oleh Dr. Shauqi Abu Khalil (Atlas of the Qur’an, Places, Nation, Landmarks, 2003,hal. 29) menunjukkan bahwa Gunung Judi terletak di bagian hulu sejauh 550 km dari Kufah. Jadi, Gunung Judi terletak di 1050 km dari Teluk Persia, tempat bermuaranya sungai Furat yang melalui kota Kufah tersebut.

Banjir pada zaman Nabi Nuh AS ini sebagai akibat dari berkumpulnya air hujan, air yang memancar dari bumi dan air laut di Teluk Persia. Pertemuan air dari berbagai arah itulah yang menimbulkan gelombang tsunami yang besar.

Peringatan Dari Allah

Banjir besar pada zaman Nabi Nuh AS adalah untuk menghukum orang-orang yang tidak mau beriman. Ada pun bencana-bencana yang ada sekarang adalah cobaan bagi orang yang beriman dan peringatan bagi orang yang kafir supaya mau beriman. Seberapa pun kehebatan kemampuan seseorang, tetaplahsangat lemah di hadapan Allah. Allah SWT melarang kita untuk terlalu bangga atas harapan yang terluput maupun terlalu bangga atas hasil yang dicapai. Sebab semua itu sudah tertulis sebagai suratan takdir dari Allah (Q.S. Al-Hadid 57:22-24).

Bagi orang yang beriman, kesambaran dalam menghadapi bencana bernilai ibadah. Bencana itu jika dihadapi dengan sabar akan mengurangi dosa-dosa yang telah dilakukan. Nabi SAW bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Dia akan menyegerakan siksa (atas dosa-dosanya) di dunia ini dan jika Dia menangguhkan siksa atas dosanya sampai dia meninggal dangan membawa dosanya di hari kiamat”. (HR. Tirmizi, dan Al-Hakim. Tirmizi menilai hadis ini sebagai hadis hasan).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah memandang bahwa musibah-musibah itu adakah suatu kenikmatan, karena hal itu akan menghapuskan dosa-dosa, mengajak kea rah kesabaran yang akan diberi pahala, menuntut untuk kembali kepada ajaran Allah dan merendahkan diri kepada Allah serta kemaslahatan yang besar lainnya (Abdurrahman bin Hasan Alisy-Syaikh, Fathul  Majid, Syarhu Kitabit-Tauhid, hal. 374). Jadi, ada hikmah di balik musibah. 
TAMAT

SEMOGA YANG SAYA TULIS INI BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar