Kamis, 04 Agustus 2011

Seputar Arah Kiblat

Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…”. (Q.S. Al-Baqarah 2:144)


Perintah Langsung

Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan kepada umat Islam dan perintahnya langsung kepada Rasulullah SAW tanpa ada perantara. Jika perintah-perintah ibadah yang lain diwajibkan oleh Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril, maka perintah shalat ini langsung diterima oleh Rasulullah SAW di saat terjadinya kejadian Isra’ Mikraj.

Batas Islam dan Kafir

Shalat adalah amalan yang membedakan antara orang Islam dengan orang kafir, sehingga orang Islam yang dengan sengaja meninggalkan shalat adalah kafir. Rasulullah SAW bersabda: “Janji yang terkait erat antara kami dengan mereka adalah shalat. Maka siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir”. (HR. Ahmad dari Buraidah). Dalam riwayat lain disebutkan: “Batas antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat”. (HR. Muslim dan Ahmad dari Jabir RA).

Menghadap Kiblat

Syarat sah shalat selain suci dari hadas besar dan hadas kecil, menutup aurat dari pusar hingga kedua lutut bagi laki-laki dan menutup aurat bagi perempuan ialah seluruh anggota tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan, maka mengadap kiblat termasuk syarat sah shalat. Rasulullah SAW mengingatkan: “Apabila kamu berdiri hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu kemudian menghadaplah ke (arah) kiblat”. (HR. Muslim dari Khalad bin Rafi’). Menghadap kiblat ketika melaksanakan shalat wajib dilakukan, tidak ketika shalat dilakukan dalam posisi berdiri saja. Dalam posisi duduk (karena sakit) pun harus juga menhadap ke kiblat, yaitu ke Ka’bah di Masjidil Haram. Sebagaimana firman-Nya: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah 2:149).

Pemindahan Kiblat

Firman Allah SWT mengenai pemindahan arah kiblat, dimana Rasulullah SAW pertama kali shalat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina, kemudian pindah ke Masjidil Haram, hal ini tersurat dalam beberapa ayat di surat Al-Baqarah. Dahulu ketika Rasulullah SAW berada di Mekah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) di Palestina atas perintah Allah SAW, padalah Rasulullah SAW berada di antara Rukun Yamani dan Rukun Syami di sebelah Selatan (yang saat ini berhadapan dengan Pintu Perpisahan dan menghadap ke utara ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka’bah berada di hadapannya). Dan ketika itu kaum Musyrikin Arab, para pendeta, dan orang Yahudi berkiblat ke arah Baitul Maqdis. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat diusir dari Mekah dan hijrah ke Madinah, beliau masih shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 17 bulan. Kemudian Rasulullah SAW banyak berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar disuruh menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim. Maka Allah SWT memenuhi doanya dan diperintahkan menghadap ke Ka’bah, sebagaimana firman-Nya di atas.

Pertama Menghadap Kiblat

Atas perintah SWT, Rasulullah SAW pu memberitahukan kepada khalayak agar mulai saat itu shalatnya menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram sebagai pengganti kiblat sebelumnya, yaitu Baitul Maqdis. Shalat pertama Nabi SAW menghadap ke Ka’bah ialah sewaktu menjalankan Shalat Ashar, sebagaimana dikemukakan dalam Shahihain, dari hadis Al-Barra’ RA: “Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis sebelum Ka’bah. Shalat pertama menghadap Ka’bah ialah shalat Ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para jamaah masjid lainnya yang ternyata sedang dalam keadaan ruku’. Dia berkata: ‘Aku bersaksi atas nama Allah, aku telah benar-benar mendirikan shalat bersama Nabi SAW menghadap ke Mekah!’ Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah (Ka’bah)”.

Timbul keraguan

Tatkala terjadi pemindahan kiblat ini dari Baitul Maqdis ke Baitullah (Ka’bah) timbullah pada sebagian kaum musyrikin, munafiqin, dan Ahli Kitab keraguan. Mereka meragukan apa yang terjadi. Mereka berkata: “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?” Apa yang membuat kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan adakalanya berkiblat ke Ka’bah? Dijawab oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat”. (Q.S. Al-Baqarah 2:142). Maksudnya ialah segala persoalan itu kepunyaan Allah SWT, maka ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah.

Wujud Keimanan Seseorang

Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajah kea rah Timur dan Barat, namun kebaktian itu dengan berimannya seseorang kepada Allah SWT, yaitu ke mana pun Allah mengarahkan kita, maka ke sanalah kita menghadapnya. Karena kesempurnaan ketaatan itu, adalah dengan menjalankan berbagai perintah-Nya, walau pun setiap hari Allah SWT mengarahkan kita ke berbagai arah, karena kita adalah hamba-Nya yang berada di bawah pengaturan-Nya. Allah SWT berfirman: “…Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot…”. (Q.S. Al-Baqarah 2:143).

Menanyakan Arah Kiblat

Apabila kita kebetulan berada di luar kota dan tidak mengetahui arah kiblat shalat, maka haruslah bertanya dahulu kepada orang sekitar yang mengetahuinya. Jika tidak ada orang sekitar yang dapat menunjukkan, maka diperbolehkan untuk melakukan ijtihad menentukan arah kiblat tersebut dan melaksanakan shalat atas dasar pertimbangan dan keyakinan sendiri. Kemudian bila ternyata keliru arah, maka tidak perlu mengulangi shalatnya. Dan dalam keadaan seperti itu shalatnya tetap sah.

Ke Arah Mana Saja

Diperbolehkan shalat tidak menghadap ke arah Ka’bah dalam situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya dalam peperangan, kondisi ketakutan dan dalam shalat nafilah (shalat sunnah) di atas kendaraan dalam perjalanan (shafar). Firman-Nya: “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan…”. (Q.S. Al-Baqarah 2:239). Sabda Ibnu Umar: “Adalah Nabi SAW mengerjakan shalat sunnah di atas untanya sesuai dengan arah kendaraannya dan mengerjakan shalat witir di atasnya (juga), namun beliau tidak pernah shalat wajib di atasnya”. (Muttafaqun ‘alaih: HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, dari Amir bin Rabi’ah, ia berkata: “Kami pernah bersama Nabi SAW dalam satu perjalanan di malam yang gelap gulita, kemudian kami tidak tahu di mana arah kiblat, maka masing-masing di antara kami shalat sesuai arah (yang diyakini masing-masing). Tatkala pagi hari kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian turunlah ayat ‘…Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…’. (Q.S. Al-Baqarah 2:115)”. (HR. Ibnu Majah, dan Tirmizi)

Shalat Di Dalam Pesawat

Jika tiba waktu shalat, seorang Muslim yang berada di pesawat wajib melaksanakan shalat sesuai kemampuannya. Jika tidak memungkinkan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud, maka hendaklah dilakukan sambil duduk, ruku’ dan sujudnya dengan membungkukkan badan (sujud lebih rendah dari pada ruku’nya). Allah SWT berfirman: “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (Q.S. At-Taghaabun 64:16). Yang lebih utama adalah shalat di awal waktu, tetapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah mendarat, maka itu pun boleh. Demikian pula hukumnya shalat di dalam mobil, kereta api, dan kapal laut. Arah shalatnya menghadap ke arah lajunya kendaraan yang kita naiki. Sebagian ahlul ilmi dari golongan Maliki berpendapat tidak sah shalatnya, karena sahnya shalat adalah di atas tanah atau di atas sesuatu yang berhubungan langsung dengan tanah seperti kendaraan bermotor, keretaapi, unta, dll. Berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tanah ini telah dijadikan tempat sujud bagiku dan dijadikan alat bersuci”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jangan Resah

Penggeseran lempeng bumi yang setiap tahun akan berdampak bergesernya arah kiblat shalat dan ketika suatu saat matahari berada tepat di atas Ka’bah, seperti pada tanggal 16 Juli 2011, jam 16.27 WIB. Sebenarnya tidak perlu dirisaukan,karena bergesernya kiblat akibat bergesernya lempengan bumi sangat kecil dan tidak terlalu berarti. Rasulullah SAW bersabda: “Di antara Timur dan Barat itu terdapat kiblat”. (HR. Tirmizi). Status hadis ini hasan shahih. Secara harfiah, hadis ini berarti antara Timur dan Barat secara keseluruhan terbentang kiblat. Seandainya diwajibkan harus tepat di titik kiblat (Ka’bah), maka orang yang shalat jauh dari Ka’bah tidak sah shalatnya jika barisan shafnya memanjang lurus karena tidak akan bertemu pada satu titik. Tidak apalah bergeser sedikit asal posisi shalatnya ke arah Ka’bah berada. TAMAT

SEMOGA YANG SAYA TULIS INI BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar